Selasa, 27 Mei 2014

KESETIAAN POLITIK AKBAR DI POHON BERINGIN

Partai Golongan Karya didirikan pada tahun 1964 dikalah akhir-akhir pemerintahan Ir.Soekarno. Hampir sama seperti partai NASDEM saat ini, awalnya partai Golkar di bentuk dapat dikatakan bukan sebagai partai politik. Hal ini dapat kita lihat pada mula pembentukan partai golkar kurang lebih seperti ormas lainnya dengan nama Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Ajaibnya saat itu, Sekber Golkar yang berubah wujud menjadi Golkar menjadi sala-satu kontestan pemilu pada pemilihan umum pertama di era Orde Baru tahun 1971 yang keluar sebagai pemenang.

Partai yang berlambangkan pohon beringin ini tidak dapat di pisahkan langsung dari sosok Akbar Tandjung. Akbar Tandjung merupakan sala-satu politikus besar di Indonesia. Ia memulai karir politiknya di partai yang sempat berkuasa selama 32 tahun ini. Perjalanan karir politiknya memang sangat gemilang bersama partai Golkar, hingga sempat di beri kepercayaan untuk menduduki kursi Ketua Umum periode 1999-2004. Ia juga pernah menjabat Ketua DPR RI di masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri. Prestasi beliau memang tidak perlu di herankan, sebab pengalaman organisasinya telah dapatkannya semenjak masa mudanya.
 
(www. Solopos. com)

Sejak dibangku perkuliahan, Bang Akbar memang aktif di berbagai kegiatan Organisasi kemahasiswaan dan diantaraya adalah Himpunan Mahasiswa Islam. Pada Kongres HMI Ke-10 tahun 1971 di Palembang, Akbar Tandjung terpilih sebagai Ketua umum PB-HMI dengan masa jabatan Periode 1972-1974. Pada Kongres ke-10 di palembang  tersebut sala-satu ide yang dikeluarkan beliau yaitu merekomendasikan kepada Golkar untuk memastikan jati dirinya apakah sebagai sekretariat bersama atau murni partai politik. Uniknya Golkar semakin jelas jati dirinya sebagai partai politik ketika Akbar Tandjung Terpilih menjadi Ketua Umum Partai Golkar Pada Munaslub tahun 1999.(Natsar Desi. 2006:15). Ide yang telah lama dia rekomendasikan semenjak terpilih menjadi Ketua Umum PB-HMI

Dimasa reformasi, perkembangan dinamika politik Indonesia memang berkembang begitu pesat di Nusantara. Hal itu ditandai dengan begitu berjamurnya partai politik yang tumbuh subur di Indonesia. Ketidak percayaan masyarakat terhadap rezim Orde Baru yang otoriter, banyak yang memprediksikan bahwa pasca reformasi 1998 partai golkar akan ikut luntur bersamaan dengan runtuhnya rezim Soeharto. Akan tetapi di tangan Akbar Tandjung sebagai Ketua Umum saat itu, partai Golkar hingga saat ini tetap bertahan menjadi sala-satu partai terbesar di Indonesia.

Perkembangan Politik pasca reformasi tersebut, banyak diantara petinggi partai Golkar beralih dan bahkan mendirikan partai baru sebagai tuntutan bagian dari mengisi ruang reformasi yang bergulir . Sala- satu tokoh tersebut Diantaranya Prabowo, Ruhut Sitompul, Surya Palo, Wiranto dan beberapa kader lana, akan tetapi lagi-lagi Akbar Tandjung setia untuk bersama partai Golkar. Kesetiaan tersebut hadir kemunginan di karenakan atas dasar rasa cintanya untuk senantiasa memberikan, seperti yang di katakan Eric Froom dalam pandangannya tentang konsep cinta. (Sabrina Maharani. 2009). Rasa cintanya tersebut tidak hilang meski bagai di lautan, gelombang politik selalu datang menghantam dirinya dan partainya. Mengabdi dan senantiasa memberikan yang terbaik bagi Golkar, begitulah kesetiaan dirinya bersama partai ini.

Pada perhelatan pemilihan Umum presiden tahun 2014 kali ini,  Bang Akbar memang terlihat sempat melakukan pertemuan dengan beberapa petinggi partai lain seperti di antaranya yakni Surya paloh. Ketokohannya tersebut terlihat kembali dengan setia dan menghargai hasil keputusan Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar yang mengusung Prabowo-Hatta. Tidak seperti beberapa kader lainnya yang memilih untuk melawan hasil keputusan rapat tersebut.

Meskipun pertemuan saya begitu singkat pada Kongres HMI Ke-27 di Depok bersama beliau, namun di mata saya Akbar Tandjung adalah sosok guru dalam berpolitik. Tidak seperti para politikus karbitan lainnya yang lebih cenderung mengarah pada kekuasaan semata, habis manis sepah dibuang. Tidak seperti Akbar Tandjung  yang selalu setia dan mengabdikan dirinya pada partai yang sempat terkedilkan pasca reformasi 1998 ini.


Pandangannya tentang politik seperti yang dikutip dalam buku “Jurnal Dan Gagasan Mengenang Nurcholis Majid”  bahwa sesungguhnya Politik itu panggilan, pengabdian dan perjuangan, itulah sejatinya jiwa seorang pemimpin politik. (2010:18). Kesetiaan seperti inilah yang perlu menjadi contoh bagi politisi-politisi lainnya. Kesetiaan adalah penting dan menjadi kata kunci dalam setiap hubungan untuk tetap terjaga. Kesetiaan bukan berarti berserah diri semata, akan tetapi atas dasar setia kita dapat mengabdi dalam beribadah untuk senantiasa memberikan yang terbaik.