Partai Golongan Karya didirikan pada
tahun 1964 dikalah akhir-akhir pemerintahan Ir.Soekarno. Hampir sama seperti
partai NASDEM saat ini, awalnya partai Golkar di bentuk dapat dikatakan bukan
sebagai partai politik. Hal ini dapat kita lihat pada mula pembentukan partai golkar kurang
lebih seperti ormas lainnya dengan nama Sekretariat
Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Ajaibnya saat itu, Sekber Golkar yang
berubah wujud menjadi Golkar menjadi sala-satu kontestan pemilu pada pemilihan
umum pertama di era Orde Baru tahun 1971 yang keluar sebagai pemenang.
Partai yang berlambangkan pohon beringin
ini tidak dapat di pisahkan langsung dari sosok Akbar Tandjung. Akbar Tandjung
merupakan sala-satu politikus besar di Indonesia. Ia memulai karir politiknya di
partai yang sempat berkuasa selama 32 tahun ini. Perjalanan karir politiknya
memang sangat gemilang bersama partai Golkar, hingga sempat di beri kepercayaan
untuk menduduki kursi Ketua Umum periode 1999-2004. Ia juga pernah menjabat
Ketua DPR RI di masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri. Prestasi beliau
memang tidak perlu di herankan, sebab pengalaman organisasinya telah dapatkannya
semenjak masa mudanya.
Sejak dibangku perkuliahan, Bang Akbar
memang aktif di berbagai kegiatan Organisasi kemahasiswaan dan diantaraya adalah
Himpunan Mahasiswa Islam. Pada Kongres HMI Ke-10 tahun 1971 di Palembang, Akbar
Tandjung terpilih sebagai Ketua umum PB-HMI dengan masa jabatan Periode
1972-1974. Pada Kongres ke-10 di palembang tersebut sala-satu ide yang dikeluarkan beliau
yaitu merekomendasikan kepada Golkar untuk memastikan jati dirinya apakah
sebagai sekretariat bersama atau murni
partai politik. Uniknya Golkar semakin jelas jati dirinya sebagai partai
politik ketika Akbar Tandjung Terpilih menjadi Ketua Umum Partai Golkar Pada
Munaslub tahun 1999.(Natsar Desi. 2006:15). Ide yang telah lama dia
rekomendasikan semenjak terpilih menjadi Ketua Umum PB-HMI
Dimasa reformasi, perkembangan dinamika
politik Indonesia memang berkembang begitu pesat di Nusantara. Hal itu ditandai
dengan begitu berjamurnya partai politik yang tumbuh subur di Indonesia. Ketidak
percayaan masyarakat terhadap rezim Orde Baru yang otoriter, banyak yang
memprediksikan bahwa pasca reformasi 1998 partai golkar akan ikut luntur
bersamaan dengan runtuhnya rezim Soeharto. Akan tetapi di tangan Akbar Tandjung
sebagai Ketua Umum saat itu, partai Golkar hingga saat ini tetap bertahan menjadi
sala-satu partai terbesar di Indonesia.
Perkembangan Politik pasca reformasi tersebut,
banyak diantara petinggi partai Golkar beralih dan bahkan mendirikan partai
baru sebagai tuntutan bagian dari mengisi ruang reformasi yang bergulir . Sala-
satu tokoh tersebut Diantaranya Prabowo, Ruhut Sitompul, Surya Palo, Wiranto
dan beberapa kader lana, akan tetapi lagi-lagi Akbar Tandjung setia untuk bersama
partai Golkar. Kesetiaan tersebut hadir kemunginan di karenakan atas dasar rasa
cintanya untuk senantiasa memberikan, seperti yang di katakan Eric Froom dalam
pandangannya tentang konsep cinta. (Sabrina Maharani. 2009). Rasa cintanya
tersebut tidak hilang meski bagai di lautan, gelombang politik selalu datang
menghantam dirinya dan partainya. Mengabdi dan senantiasa memberikan yang
terbaik bagi Golkar, begitulah kesetiaan dirinya bersama partai ini.
Pada perhelatan pemilihan Umum presiden
tahun 2014 kali ini, Bang Akbar memang
terlihat sempat melakukan pertemuan dengan beberapa petinggi partai lain
seperti di antaranya yakni Surya paloh. Ketokohannya tersebut terlihat kembali
dengan setia dan menghargai hasil keputusan Rapat Pimpinan Nasional Partai
Golkar yang mengusung Prabowo-Hatta. Tidak seperti beberapa kader lainnya yang memilih
untuk melawan hasil keputusan rapat tersebut.
Meskipun pertemuan saya begitu singkat
pada Kongres HMI Ke-27 di Depok bersama beliau, namun di mata saya Akbar
Tandjung adalah sosok guru dalam berpolitik. Tidak seperti para politikus
karbitan lainnya yang lebih cenderung mengarah pada kekuasaan semata, habis
manis sepah dibuang. Tidak seperti Akbar Tandjung yang selalu setia dan mengabdikan dirinya
pada partai yang sempat terkedilkan pasca reformasi 1998 ini.
Pandangannya tentang politik seperti
yang dikutip dalam buku “Jurnal Dan Gagasan Mengenang Nurcholis Majid” bahwa sesungguhnya Politik itu panggilan, pengabdian dan perjuangan, itulah sejatinya jiwa
seorang pemimpin politik. (2010:18). Kesetiaan seperti inilah yang perlu
menjadi contoh bagi politisi-politisi lainnya. Kesetiaan adalah penting dan
menjadi kata kunci dalam setiap hubungan untuk tetap terjaga. Kesetiaan bukan
berarti berserah diri semata, akan tetapi atas dasar setia kita dapat mengabdi
dalam beribadah untuk senantiasa memberikan yang terbaik.