Ada
hantu yang lebih berbahaya selain komunis yang sempat mempengaruhi sepertiga
umat manusia di abad ke-20
silam. Hantu itu nyata, bahkan terlihat rapih dan gagah
namun dapat merusak moral kehidupan bernegara. Hantu itu bernama korupsi yang
selalu berkeliaran dan merasuki seluruh daerah. Korupsi atau penyalahgunaan jabatan dengan
maksud memperkaya diri sendiri saat ini sudah menjadi musuh bersama. Akibat
ulahnya, tidak heran jika banyak yang menjadi korban keganasaanya sehingga masyarakatpun hidup dalam kemiskinan. Secara garis besar
perbuatan korupsi adalah perampokan, penggelapan, pemerasan keuangan yang dapat
merugikan negara.
Pada
tahun 2003 Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyepakati bahwa pada tanggal 9 Desember sebagai
hari anti Korupsi Se-Dunia. Penetapan itu menjadi perhatian sekaligus tekad
dunia untuk memerangi korupsi. Di Indonesia kata korupsi biasanya di pelesetkan menjadi salah-satu
budaya dalam pemerintahan. “Budaya
Korupsi”, begitulah orang-orang menyebutnya karena praktek seperti ini
sering di perlihatkan oleh para pejabat negara. Belum lagi soal
pelayanan yang masih rendah, sehingga istilah masalah akan mulus jika ada fulus selalu menghantui masyarakat. Hal
sepeleh seperti ini menjadi salah satu contoh budaya korupsi yang selalu di
temukan. Selain itu dalam penegakan hukum juga masih terasa tebang pilih sehingga
kasus korupsi terkadang hilang begitu saja di mejah penegak hukum.
Peristiwa seperti ini kadang membuat geram kelompok poros tengah yang
hidup di dunia kemahasiswaan. Apalagi dalam peringatan 9 Desember suasana
kampus ramai di penuhi spanduk yang bertemakan pemberantasan terhadap korupsi.
Para aktifis mahasiswa dengan semangat meneriakan kecaman dan kutukan kepada
para pelaku korupsi. Biasanya yang menjadi sasaran utama dalam peringatan itu
ialah pemerintah dan instansi penegak hukum. Berbagai warna bendera yang
menjadi simbol identitas mahasiswapun tumpah ruah di jalan raya. Meskipun
terkadang dengan konsep yang tidak terlalu jelas, mereka tetap mengumandangkan
protes, demonstrasi, bahkan tawuran kepada pemerintah yang di anggap korup dan
tidak adil. Soal benar dan salah itu persoalan lain, yang penting aktualisasi
diri tetap di lanjutkan. Begitu kira-kira pandangan sebagian di antaranya.
(Photografer : Ld.Sakiyudin) |
Seperti kata Abraham Maslow, aktualisasi menjadi salah satu kebutuhan yang melekat di dalam diri setiap manusia. Begitu juga dengan mereka para kelompok mahasiswa yang selalu tertantang untuk mempertahankan gelarnya sebagai agen social of control. Peringatan Hari Anti korupsi menjadi sarana untuk menguji kemampuan, mental dan keilmuan yang mereka dapatkan selama di dunia kampus. Mereka merasakan betul setelah tamat sekolah dan melanjutkan di perguruan tinggi, dunia terasa milik mereka. Semakin di tonton oleh gadis-gadis atau pacar mereka, maka semangat demonstrasinya pun jadi membara. Apalagi di tambah oleh film-film, dan buku-buku perjuangan yang di pelajarinya tentu sangat mempengaruhi batin mereka. Itulah sebabnya mereka mengikat kepala, mengibarkan bendera, berorasi karena terbayang akan kegagahan tokoh yang di idolakan.
Terus jika demikian adanya, sebenarnya apa yang menjadi substansi
gerakan mereka dalam memperingati hari anti korupsi? Sekedar kampanye atau
mengaktualisasikan diri semata? Harapannya tentu tidak demikian, karena
peringatan 9 Desember seharusnya menjadi milik bagi siapapun yang insyaf karena
sadar akan bahaya dari korupsi. Mahasiswa merupakan kelompok yang memiliki
wawasan keilmuan yang luas. Sepatutnya peringatan hari anti korupsi bukan
sekedar euforia gerakan semata, melainkan langkah awal untuk menyususn kekuatan,
konsep, mendorong dan menyelesaikan kasus yang luput dari perhatian hukum.
Setelah itu menjadi bahan evaluasi oleh mahasiswa untuk mengawal selama satu
tahun berikutnya, sehingga perjuangan melawan korupsi tidak hanya di hari anti
korupsi saja.
Kampus memang menjadi mimbar bebas bagi mahasiswa untuk mengenal
kehidupan lainnya. Lingkungannya di hiasi penuh dengan manusia-manusia
intelektual, maka ketika menyusun gerakan semestinya juga memiliki konsep yang
jelas pula. Sehinga warna dari aksi hari anti korupsi ini tidak terlihat
spontanitas semata. Coba kita amati sejenak muatan isu mahasiswa yang di
terikan di daerah-daerah
terkadang masih terdengar begitu umum. Berdasarkan hal tersebut, warna gerakan terkesan
hanya turut mengambil
peran meramaikan peringatan hari anti korupsi se-dunia. Mahasiswa terlihat
kekurangan bahan untuk membasmi tikus-tikus berdasi yang berada di daerah.
Belum lagi diantara organisasi
kemahasiswan lainnya
cenderung jalan sendiri-sendiri tanpa ada konsilidasi bersama sebelumnya.
Masing-masing ingin tampil sehingga orasi yang di sampaikan oleh lembaga
terkadang saling bertabrakan sehingga tidak jelas penyampaiannya. Disaat seperti itu terlihat
bahwa gerakan mahasiswa terasa tidak solid apa
lagi untuk memerangi korupsi. Apa lagi peringatan hari anti
Korupsi kali ini bertepatan dengan pilkada serentak, menjadi kesempatan untuk mengawal
dan melahirkan pemimpin yang berintegritas. Pemimpin yang memiliki komitment
untuk menjadikan korupsi sebagai musuhnya. Mengkapanyekan sekaligus memantau
proses pemilihan yang dapat berpotensi melahirkan bibit-bibit korupsi sehingga
terawasi dan di basmi.
Berani
Jujur Itu Hebat...
Katakan
Tidak Untuk Korupsi...
Baubau, 9 Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar