Selasa, 08 Desember 2015

Euforia Gerakan 9 Desember


Ada hantu yang lebih berbahaya selain komunis yang sempat mempengaruhi sepertiga umat manusia di abad ke-20 silam. Hantu itu nyata, bahkan terlihat rapih dan gagah namun dapat merusak moral kehidupan bernegara. Hantu itu bernama korupsi yang selalu berkeliaran dan merasuki seluruh daerah. Korupsi atau penyalahgunaan jabatan dengan maksud memperkaya diri sendiri saat ini sudah menjadi musuh bersama. Akibat ulahnya, tidak heran jika banyak yang menjadi korban keganasaanya sehingga masyarakatpun hidup dalam kemiskinan. Secara garis besar perbuatan korupsi adalah perampokan, penggelapan, pemerasan keuangan yang dapat merugikan negara. 

Pada tahun 2003 Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyepakati bahwa pada tanggal 9 Desember sebagai hari anti Korupsi Se-Dunia. Penetapan itu menjadi perhatian sekaligus tekad dunia untuk memerangi korupsi. Di Indonesia kata korupsi biasanya di pelesetkan menjadi salah-satu budaya dalam pemerintahan. “Budaya Korupsi”, begitulah orang-orang menyebutnya karena praktek seperti ini sering di perlihatkan oleh para pejabat negara. Belum lagi soal pelayanan yang masih rendah, sehingga istilah masalah akan mulus jika ada fulus selalu menghantui masyarakat. Hal sepeleh seperti ini menjadi salah satu contoh budaya korupsi yang selalu di temukan. Selain itu dalam penegakan hukum juga masih terasa tebang pilih sehingga kasus korupsi terkadang hilang begitu saja di mejah penegak hukum.

Peristiwa seperti ini kadang membuat geram kelompok poros tengah yang hidup di dunia kemahasiswaan. Apalagi dalam peringatan 9 Desember suasana kampus ramai di penuhi spanduk yang bertemakan pemberantasan terhadap korupsi. Para aktifis mahasiswa dengan semangat meneriakan kecaman dan kutukan kepada para pelaku korupsi. Biasanya yang menjadi sasaran utama dalam peringatan itu ialah pemerintah dan instansi penegak hukum. Berbagai warna bendera yang menjadi simbol identitas mahasiswapun tumpah ruah di jalan raya. Meskipun terkadang dengan konsep yang tidak terlalu jelas, mereka tetap mengumandangkan protes, demonstrasi, bahkan tawuran kepada pemerintah yang di anggap korup dan tidak adil. Soal benar dan salah itu persoalan lain, yang penting aktualisasi diri tetap di lanjutkan. Begitu kira-kira pandangan sebagian di antaranya.

(Photografer : Ld.Sakiyudin)

Seperti kata Abraham Maslow, aktualisasi menjadi salah satu kebutuhan yang melekat di dalam diri setiap manusia. Begitu juga dengan mereka para kelompok mahasiswa yang selalu tertantang untuk mempertahankan gelarnya sebagai agen social of control. Peringatan Hari Anti korupsi menjadi sarana untuk menguji kemampuan, mental dan keilmuan yang mereka dapatkan selama di dunia kampus. Mereka merasakan betul setelah tamat sekolah dan melanjutkan di perguruan tinggi, dunia terasa milik mereka. Semakin di tonton oleh gadis-gadis atau pacar mereka, maka semangat demonstrasinya pun jadi membara. Apalagi di tambah oleh film-film, dan buku-buku perjuangan yang di pelajarinya tentu sangat mempengaruhi batin mereka. Itulah sebabnya mereka mengikat kepala, mengibarkan bendera, berorasi karena terbayang akan kegagahan tokoh yang di idolakan.

Terus jika demikian adanya, sebenarnya apa yang menjadi substansi gerakan mereka dalam memperingati hari anti korupsi? Sekedar kampanye atau mengaktualisasikan diri semata? Harapannya tentu tidak demikian, karena peringatan 9 Desember seharusnya menjadi milik bagi siapapun yang insyaf karena sadar akan bahaya dari korupsi. Mahasiswa merupakan kelompok yang memiliki wawasan keilmuan yang luas. Sepatutnya peringatan hari anti korupsi bukan sekedar euforia gerakan semata, melainkan langkah awal untuk menyususn kekuatan, konsep, mendorong dan menyelesaikan kasus yang luput dari perhatian hukum. Setelah itu menjadi bahan evaluasi oleh mahasiswa untuk mengawal selama satu tahun berikutnya, sehingga perjuangan melawan korupsi tidak hanya di hari anti korupsi saja.

Kampus memang menjadi mimbar bebas bagi mahasiswa untuk mengenal kehidupan lainnya. Lingkungannya di hiasi penuh dengan manusia-manusia intelektual, maka ketika menyusun gerakan semestinya juga memiliki konsep yang jelas pula. Sehinga warna dari aksi hari anti korupsi ini tidak terlihat spontanitas semata. Coba kita amati sejenak muatan isu mahasiswa yang di terikan di daerah-daerah terkadang masih terdengar begitu umum. Berdasarkan hal tersebut, warna gerakan terkesan hanya turut mengambil peran meramaikan peringatan hari anti korupsi se-dunia. Mahasiswa terlihat kekurangan bahan untuk membasmi tikus-tikus berdasi yang berada di daerah.

Belum lagi diantara organisasi kemahasiswan lainnya cenderung jalan sendiri-sendiri tanpa ada konsilidasi bersama sebelumnya. Masing-masing ingin tampil sehingga orasi yang di sampaikan oleh lembaga terkadang saling bertabrakan sehingga tidak jelas penyampaiannya. Disaat seperti itu terlihat bahwa gerakan mahasiswa terasa tidak solid apa lagi untuk memerangi korupsi. Apa lagi peringatan hari anti Korupsi kali ini bertepatan dengan pilkada serentak, menjadi kesempatan untuk mengawal dan melahirkan pemimpin yang berintegritas. Pemimpin yang memiliki komitment untuk menjadikan korupsi sebagai musuhnya. Mengkapanyekan sekaligus memantau proses pemilihan yang dapat berpotensi melahirkan bibit-bibit korupsi sehingga terawasi dan di basmi.

Berani Jujur Itu Hebat...
Katakan Tidak Untuk Korupsi...

Baubau, 9 Desember 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar