Meski pengerjaan
proyek pembangunannya belum kelar, Kotamara
saat ini sudah menjadi ruang publik yang ramai dikunjugi masyarakat setiap harinya. Laut
yang ditimbun diwilayah Kelurahan Nganganaumala dan Wameo ini
merupakan salah satu icon yang dimiliki oleh pemerintah Kota Baubau yang berada di Profinsi Sulawesi
Tenggara. Penamaannya pun tergolong unik, seakan-akan disediakan khusus sebagai
media bagi setiap
orang untuk dapat melampiaskan
emosinya. Saya pun tertarik untuk bereksperimen serta menghubungkan
nama dan peristiwa yang pernah terjadi
diteluk depan
Kotamara ini. Yakni mengkonsepsikan sejarah
terbesar oleh ke dua kubu, pergolakan antara
Kesultanan Buton dan Kesultanan Gowa sehingga menimbulkan perang terdasyat yang melibatkan banyak
pihak.
(Foto : Green City Kotamara Baubau Sulawesi Tenggara) |
Seperti
masyarakat pada umumnya, saya selalu menempatkan diri untuk berkunjung
menghibur hati disana. Mungkin berbeda dengan para pengunjung lainnya, selain
menikmati pemandangan, rekreasi ini terkadang juga berubah menjadi wisata sejarah bagi saya. Memang tidak nampak
sedikitpun jejak-jejak
sejarah yang terlihat, tetapi sesungguhnya lokasi ini sudah menjadi saksi bisu pertempuran terbesar yang
dirasakan oleh Kesultanan Buton. Ketika saya
berada di tempat ini, didalam otak terkadang bekerja membayangkan kisah yang
pernah terjadi di muka
teluk Kota Baubau yang posisinya tepat ketika berada di Kotamara. Bunyi kendaraan para
pengunjung yang
terdengar, langsung membawa saya untuk membayangkan suara mesin kapal perang armada Gowa yang pernah datang menyerang Buton dikala
itu. Ramainya suara pengunjung juga
mengingatkan sebuah teriakan manusia saat itu yang penuh dengan amarah hanya untuk mempertahankan
kedudukan daerahnya. Bayangan ilusi tersebut tiada lain ialah sejarah kelam yang terjadi pada
tahun 1666, saat Gowa datang menebar angkara murka di Negeri Seribu Benteng.
Sedikit
mengulas sejarah, bahwa bukan
cuman sekali saja
penyerangan dilakukan dari tanah
Makassar kepada
Buton. Sebenarnya
bibit perselisihan itu mulai
tumbuh ketika Sultan Buton (La Elangi) meneken kontrak kerjasama
kepada VOC sebagai simbol persekutuan yang abadi. Kesepakatan ini dikenal atas nama
perjanjian Both yang di kukuhkan pada tahun 1613. Latar
belakang kesepakatan itu diadakan karena pengaruh
hegemoni Kekuasaan yang ada dari tanah Manggasara. Saat itu Negeri tanah daeng ini sudah
berkembang pesat dan memiliki
keinginan untuk menguasai perdagangan
rempah-rempah agar dapat dipusatkan disana. Demi menggapai misinya, Kerajaan Makassar sejak
awal juga melakukan
politik perluasan wilayah untuk dapat memuluskan keinginan
besarnya tersebut. Beberapa
kerajaan didaratan Sulawesi takluk dan tunduk dibawah pengaruh kerajaan Gowa. Atas ancaman itu, Buton lebih memilih bebas dan
merdeka untuk bekerjasama dengan Kompeni, dan tentunya ditanggapi tidak baik oleh
Kerajaan di tanah Makassar.
Lanjut cerita, Agresi pertama Kerajaan
Gowa terjadi Pada tahun
1626 dan saat itu sempat menduduki sebagian wilayah Kesultanan Buton
di daratan pancana/Muna (Schoorl,2003:26). Hanya
saja kondisi itu tidak bertahan lama karena dapat di bebaskan kembali atas
bantuan yang datang dari sekutu Buton yakni Ternate dan VOC. Sejak
itu hubungan antara Kerajaan Gowa dan Buton mulai renggang. Puncak dari pergolakan ini bertambah ketika suatu
saat Kerajaan
Gowa di jabat
oleh Sultan Hasanuddin yang dikenal sangat keras terhadap
belanda. Sebelum penyerangan itu
terjadi, pada tahun 1663 Ayam Jantan dari
timur tersebut berhasil
merebut kembali benteng Panakukang yang diduduki oleh Kompeni. Kemenangan itu barangkali
membuat semangat dan percaya diri Kerajaan Makassar semakin besar untuk memperluas kembali kekuasaannya di Indonesia
timur.
Pergolakan
antara Buton dan Makassar semakin memanas ketika
Sultan Hasaanudin mengetahui bahwa saat itu
musuhnya Raja Bone
(AruPalaka) beserta
beberapa tawanan lainnya lari dan mencari perlindungan di
Buton. Sehingga ketika rahasia itu terbongkar bendera perang dikibarkan
dan ditujukan kepada Kesultanan
Buton. Pada tahun 1666 gencatan
senjata terbesar tak terhindarkan antara Koalisi Makassar-Bima-Portugis
melawan Koalisi Buton-Ternate-Bugis-VOC.
Lautan di muka teluk Kota
Baubau tepat di
hadapan Kotamara inilah, panggung terbesar pertempuran
dahsyat melanda Buton, yang
kemungkinan tidak banyak diketahui oleh generasi saat ini.
Secangkir
Kopi di Kota Mara kembali saya minum untuk memancing daya ingat membayangkan
peristiwa itu terjadi. Udara yang terhirup
mengantarkan saya akan situasi yang begitu panas terjadi di lautan ini. Situasi
ketika api amarah yang membara di dalam tubuh setiap
prajurit yang bertarung. Matahari seolah enggan keluar karena cahayanya
tertutup asap senjata yang membabi
buta di udara. Teriakan
histeris kesakitan tak dapat di hindarkan bagi siapapun yang terkena sayatan
pedang, tombak, dan
hantaman percikan meriam yang meledak. Perang itu bagaikan ombak dilautan yang
mengamuk, dan menghantam apapun yang berada di sekitarnya.
Akan tetapi setelah
memakan waktu yang begitu lama Armada Makassar dibawah komando Karaeng Bontomaranu mulai melemah menghadapi
perlawanan dari koalisi Kerajaan Buton. AruPalaka yang
mengeluarkan badik dari sarungnya terlihat bersama barisan Kesultanan Buton menjadi
sinyal bahwa kekalahan akan melanda Kerajaan Gowa. Melihat hal itu, pasukan bugis yang berada
di bawah pimpinan Makassar mulai membelot untuk membantu Rajanya yang sangat berpengaruh itu untuk membantu Buton. Karaeng Bontomaranu komandan
pasukan agresi armada
Makassar ini pun di pukul
mundur, dan prajuritnya
yang tak sempat melarikan diri menjadi tawanan perang yang di asingkan di
Liwuto (pulau makassar) sebuah pulau tepat di
depan Kota Baubau. Sesunggunya kekalahan itu telah meruntuhkan pengaruh
Kerajaan Gowa di wilayah timur Indonesia.
Begitulah sejenak peristiwa sejarah yang
dapat di renungkan ketika berada di tempat ini. Kita disajikan dengan nuansa pantai dan serta
suara deburan ombak yang mengiringi dapat memanjakan setiap pengunjung. Masjid Islamic
Centre yang berdiri
megah sangat tepat di bangun di area Kotamara ini, sebab memperindah pandangan serta memberi kesan akan kedamaian. Semoga setiap alunan
ayat suci dan adzan yang dikumandangkan dari masjid itu dapat mengantarkan
dengan tenang bagi siapa pun jiwa yang hilang dari pertempuran itu. Saya pun berkesimpulan, kemungkinan pemberian nama
Kotamara ini akibat dari sebuah kisah yang pernah terjadi disini. Tempat dikala
ribuan manusia hadir dengan penuh amarah
melawan maut demi mempertahankan kedudukan dan kekuasaannya.