Kamis, 26 Maret 2015

WISATA SEJARAH DI KOTAMARA

Meski pengerjaan proyek pembangunannya belum kelar, Kotamara saat ini sudah menjadi ruang publik yang ramai dikunjugi masyarakat setiap harinya. Laut yang ditimbun diwilayah Kelurahan Nganganaumala dan Wameo ini merupakan salah satu icon yang dimiliki oleh pemerintah Kota Baubau yang berada di Profinsi Sulawesi Tenggara. Penamaannya pun tergolong unik, seakan-akan disediakan khusus sebagai media bagi setiap orang untuk dapat melampiaskan emosinya. Saya pun tertarik untuk  bereksperimen serta menghubungkan nama dan peristiwa yang pernah terjadi  diteluk depan Kotamara ini. Yakni mengkonsepsikan sejarah terbesar oleh ke dua kubu, pergolakan antara Kesultanan Buton dan Kesultanan Gowa sehingga menimbulkan perang terdasyat yang melibatkan banyak pihak.

(Foto : Green City Kotamara Baubau Sulawesi Tenggara)

Seperti masyarakat pada umumnya, saya selalu menempatkan diri untuk berkunjung menghibur hati disana. Mungkin berbeda dengan para pengunjung lainnya, selain menikmati pemandangan, rekreasi ini terkadang juga berubah menjadi  wisata sejarah bagi saya. Memang tidak nampak sedikitpun jejak-jejak sejarah yang terlihat, tetapi sesungguhnya lokasi ini sudah menjadi saksi bisu pertempuran terbesar yang dirasakan oleh Kesultanan Buton. Ketika saya  berada di tempat ini, didalam otak terkadang bekerja membayangkan kisah yang pernah terjadi di muka teluk Kota Baubau yang posisinya tepat ketika berada di Kotamara. Bunyi kendaraan para pengunjung yang terdengar, langsung membawa saya untuk membayangkan suara mesin kapal perang armada Gowa yang pernah datang menyerang Buton dikala itu. Ramainya suara pengunjung juga mengingatkan sebuah teriakan manusia saat itu yang penuh dengan amarah hanya untuk mempertahankan kedudukan daerahnya. Bayangan ilusi tersebut tiada lain ialah sejarah kelam yang terjadi pada tahun 1666, saat Gowa datang menebar angkara murka di Negeri Seribu Benteng.

Sedikit mengulas sejarah, bahwa bukan cuman sekali saja  penyerangan dilakukan dari tanah Makassar kepada Buton. Sebenarnya bibit perselisihan itu mulai tumbuh  ketika Sultan Buton (La Elangi) meneken kontrak kerjasama kepada VOC sebagai simbol persekutuan yang abadi. Kesepakatan ini dikenal atas nama perjanjian Both yang di kukuhkan pada tahun 1613. Latar belakang kesepakatan itu diadakan karena pengaruh hegemoni Kekuasaan yang ada dari tanah Manggasara. Saat itu Negeri tanah daeng ini sudah berkembang pesat dan memiliki keinginan untuk menguasai perdagangan rempah-rempah agar dapat dipusatkan disana. Demi menggapai misinya, Kerajaan Makassar sejak awal juga melakukan politik perluasan wilayah untuk dapat memuluskan keinginan besarnya tersebut. Beberapa kerajaan didaratan Sulawesi takluk dan tunduk dibawah pengaruh kerajaan Gowa. Atas ancaman itu, Buton lebih memilih bebas dan merdeka untuk bekerjasama dengan Kompeni, dan tentunya ditanggapi tidak baik oleh Kerajaan di tanah Makassar.

Lanjut cerita, Agresi pertama Kerajaan Gowa terjadi Pada tahun 1626 dan saat itu sempat menduduki sebagian wilayah Kesultanan Buton di daratan pancana/Muna (Schoorl,2003:26). Hanya saja kondisi itu tidak bertahan lama karena dapat di bebaskan kembali atas bantuan yang datang dari sekutu Buton yakni Ternate dan VOC. Sejak itu hubungan antara Kerajaan Gowa dan Buton mulai renggang. Puncak dari pergolakan ini bertambah ketika suatu saat Kerajaan Gowa di jabat oleh Sultan Hasanuddin yang dikenal sangat keras terhadap belanda. Sebelum penyerangan itu terjadi, pada tahun 1663 Ayam Jantan dari timur tersebut berhasil merebut kembali benteng Panakukang yang diduduki oleh Kompeni. Kemenangan itu barangkali membuat semangat dan percaya diri Kerajaan Makassar semakin besar untuk memperluas kembali kekuasaannya di Indonesia timur.

Pergolakan antara Buton dan Makassar semakin memanas ketika Sultan  Hasaanudin mengetahui bahwa saat itu musuhnya  Raja Bone (AruPalaka) beserta beberapa tawanan lainnya  lari dan mencari perlindungan di Buton. Sehingga ketika rahasia itu terbongkar bendera perang dikibarkan dan ditujukan kepada Kesultanan Buton. Pada tahun 1666 gencatan senjata terbesar tak terhindarkan antara Koalisi Makassar-Bima-Portugis melawan Koalisi Buton-Ternate-Bugis-VOC.  Lautan di muka teluk Kota Baubau tepat di hadapan Kotamara inilah, panggung terbesar pertempuran dahsyat melanda Buton, yang kemungkinan tidak banyak diketahui oleh generasi saat ini.

Secangkir Kopi di Kota Mara kembali saya minum untuk memancing daya ingat membayangkan peristiwa itu terjadi. Udara yang terhirup  mengantarkan saya akan situasi yang begitu panas terjadi di lautan ini. Situasi ketika api amarah yang membara di dalam tubuh setiap prajurit yang bertarung. Matahari seolah enggan keluar karena cahayanya tertutup asap senjata yang membabi buta di udara. Teriakan histeris kesakitan tak dapat di hindarkan bagi siapapun yang terkena sayatan pedang, tombak, dan hantaman percikan meriam yang meledak. Perang itu bagaikan ombak dilautan yang mengamuk, dan menghantam apapun yang berada di sekitarnya.

Akan tetapi setelah memakan waktu yang begitu lama Armada Makassar dibawah komando Karaeng Bontomaranu mulai melemah menghadapi perlawanan dari koalisi Kerajaan Buton.  AruPalaka yang mengeluarkan badik dari sarungnya terlihat bersama barisan  Kesultanan Buton  menjadi sinyal bahwa kekalahan akan melanda Kerajaan Gowa. Melihat hal itu, pasukan bugis yang berada di bawah pimpinan Makassar mulai membelot untuk membantu Rajanya yang sangat berpengaruh itu untuk membantu Buton. Karaeng Bontomaranu komandan pasukan agresi armada Makassar ini pun di pukul mundur, dan prajuritnya yang tak sempat melarikan diri menjadi tawanan perang yang di asingkan di Liwuto (pulau makassar) sebuah pulau tepat di depan Kota Baubau. Sesunggunya kekalahan itu telah meruntuhkan pengaruh Kerajaan Gowa di wilayah timur Indonesia.

Begitulah sejenak peristiwa sejarah yang dapat di renungkan ketika berada di tempat ini. Kita disajikan dengan nuansa pantai dan serta suara deburan ombak yang mengiringi dapat memanjakan setiap pengunjung.  Masjid Islamic Centre yang berdiri megah sangat tepat di bangun di area Kotamara ini, sebab memperindah pandangan serta memberi kesan akan kedamaian. Semoga setiap alunan ayat suci dan adzan yang dikumandangkan dari masjid itu dapat mengantarkan dengan tenang bagi siapa pun jiwa yang hilang dari pertempuran itu. Saya pun berkesimpulan, kemungkinan pemberian nama Kotamara ini akibat dari sebuah kisah yang pernah terjadi disini. Tempat dikala ribuan manusia hadir dengan penuh amarah melawan maut demi mempertahankan kedudukan dan kekuasaannya.

Sabtu, 07 Maret 2015

SEMARAKNYA PESTA ADAT LAPANDEWA RONGI



(Pesona Desa Sandang Pangan/Rongi)

Musim hujan tak hanya mendatangkan basah, namun juga memberi kabar bagi masyarakat adat Rongi untuk segera menyambut pesta kampung (Matogalampa) yang telah di nanti-nantikan. Diwaktu ini masyarakat akan segera bercocok tanam, dan biasanya jagung menjadi tanaman pilihannya. Berawal dari sinilah proses pesta adat ini akan segera dilaksanakan, karena setelah itu perangkat adat/sara juga akan melakukan rapat-rapat pertemuan setiap minggunya (Batanda) untuk memperhitungkan hari baik menurut bulan. Pertemuan itu dilaksanakan selama empat kali, dan pesta kampung akan di putuskan pada pertemuan yang terkahir.

Rongi merupakan bagian dari salah satu rumpun asli Lapandewa sama seperti tiga desa lainnya yaitu Sempa-Sempa, Kaindea, dan Kaongke-ongkea. Dahulunya desa-desa ini berada pada satu markas besar/kampung dengan sebutan Lapandewa yang bertugas sebagai sala satu pasukan pertahanan Kesultanan Buton dimasa silam (Matana Sorumba). Secara geografis desa ini berada di ketinggian dan di sekelilingnya terdapat bukit mungil yang indah, dan tentunya dapat memanjakan siapa pun yang menginjakan kakinya di desa ini. Meskipun Bentengnya agak sedikit rapuh namun masih terlihat megah melindungi perkampungan disekitarnya.  Ada banyak kisah dan peninggalan sejarah yang terisisa didesa kecil ini, diantaranya seperti meriam naga Lapandewa Rongi, yang kembarannya dimiliki oleh Kesultanan Buton.

(Meriam Naga Lapandewa Rongi)

Secara administratif, Rongi tercatat dengan nama Desa Sandang Pangan yang berada di wilayah Kecamatan Sampolawa Kabupaten Buton Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Untuk yang pertama kalinya, perayaan pesta kampung ini dilaksanakan di daerah otonom baru yang belum lama telah dimekarkan dari Kabupaten Buton sebagai wilayah induk. Dapat dibilang, perayaaan pesta kampung menjadi perayaan yang terbesar di desa ini jika dibandingkan dengan perayaan hari raya lainnya. Pesta adat ini disambut meriah oleh seluruh masyarakat Rongi, termasuk mereka yang berada didaerah perantauan untuk datang kembali merajut tali persaudaraan yang penuh dengan nuansa kekeluargaan dan norma-norma adat dan istiadat. 

Prosesi perayaan pesta adat di buka dengan memotong kambing sebagai kurban atas rasa syukur terhadap rezky yang telah diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Berbagai ritual dilakukan selama kurang lebih empat hari lamanya. Puncak dari perayaan ini di kenal dengan sebutan sampua galampa yaitu ditandai dengan makan bersama oleh seluruh perangkat adat di balai pertemuan (Baruga). Setelah itu seseorang yang telah di tugaskan (Pande Batata) memanjatkan do’a kepada yang maha  kuasa untuk mendoakan para leluhur yang telah mendahului mereka. Selesai do’a dipanjatkan, gendang dibunyikan dengan nada yang membangkitkan jiwa mengiringi para perangkat adat untuk turun dari tempat pertemuan tersebut. Masyarakatkan pun akan dihibur oleh tarian adat dengan menggunakan pisau oleh para orang tua kampung yang megenakan jubah lengkap sebagai sala satu dari pakaian adat Buton. Badan mereka yang sudah keriput seolah kencang kembali ketika mereka tampil  penuh semangat memainkan pisaunya. Acara ini di laksanakan setelah selesai sholat Ashar hingga menjelang adzan magrib berkumandang.

(Pesta Adat Rongi : Sampua Galampa)

Setelah sholat Isya dikerjakan, acara kembali dilanjutkan dengan tarian melayu atau masyarakat setempat menamakannya dengan badenda yang akan di iringi oleh alat tradisional sederhana. Gerak badan mereka yang gemulai dan hentakan kaki yang lembut memancarkan wajah kegembiraan atas berkah yang selama ini di dapatkan. Tidak sedikit diantara wajah tua mereka, terlihat termenung sambil mengenang masa mudanya dahulu. Tidah hanya dikalangan tua, generasi muda juga di wajibkan untuk mengikuti acara ini sebagai bentuk menjaga kelestarian budaya. Antusias dari kalangan muda mudi pun terlihat dengan busana yang diwajibkan yakni mengenakan sarung dan selendang bagi perempuan dan peci untuk kaum adam. Acara ini biasa juga dijadikan sebagai ajang pencarian jodoh oleh kaum muda. Kita pun yang menyaksikan  terasa seolah menembus waktu berada di masa lampau ketika budaya masih sangat di junjung tinggi.

Di hari berikutnya saat sore hari menjelang, iringan gendang di bunyikan oleh generasi mudah dengan mengelilingi kampung sebagai nada paggilan untuk masyarakat bahwa acara akan segera dilanjutkan. Proses ini disebut dengan Liliya, yang juga tidak berbeda dengan acara sebelumnya yakni tarian dengan menggunakan pisau. Bedanya pada kali ini para orang tua tidak lagi menggunakan jubah sebagai sala satu pakean adat Buton. Selain itu jika sebelumnya tarian ini hanya diperuntukan bagi orang tua kampung saja, kali ini dapat di ikuti oleh para pemudah. Siapapun dia yang terlihat oleh pandangan, laki-laki itu nampak gagah terlihat dengan pakaian rapi lengkap menggunakan peci dikepala serta terselip sebuah pisau di samping pinggangnya. Barang siapa yang ikut mangaru ini (tarian pisau) tidak menggunakan peci dan masuk lebih dari satu pasangan maka akan di kenakan denda yang diharuskan membayar sebungkus rokok kepada perangkat adat/sara. Sayangnya, saya menjadi salah satu diantaranya yang terkena denda tersebut karena telah melanggar aturan main yang sudah di putuskan. Sorak dan teriakan para penonton yang menyaksikan lebih menambah semaraknya pesta adat ini.

(Tarian Pisau Kalangan Pemuda Rongi)

Dan pada akhirnya, setelah sang fajar terbit dari timur menyinari kolong langit buatan tuhan ini, acara akan di tutup oleh seorang yang telah ditugaskan oleh perangkat adat. Seperti pada acara sebelumnya, penutupan ini juga menampilkan tarian pisau yang di hibur oleh pukulan gendang. Kinia atau seorang yang ditugaskan untuk menutup gendang  hendak bersiap menunggu Parabela sebagai pimpinan adat tertinggi yang datang di balai pertemuan itu (Baruga). setelah pimpinan yang telah ditunggu itu  tiba, ia meminta izin dan bergegas kembali kerumahnya untuk mengganti pengikat kepalanya (kampurui) dengan  menggunakan kain putih yang sangat panjang terurai. Sebelum hendak bergegas menutup acara, terlebih dahulu dikediamannya ia bermunajat dan membaca do’a. Setelah itu dia berdiri meninggalkan tempat duduknya dan putera laki-lakinya harus kembali duduk di tempat ia bermunjat tadi. Saat hendak menuju ketempat penutupan yakni  tepat di depan balai pertemuan (baruga) tersebut, tidak ada satupun yang berani melintas di hadapannya. Dalam keadaan apapun seseorang pasti akan bergegas pergi ketika melihat orang tua ini (kinia) yang akan melintas. Konon katanya bagi siapa yang menghalangi atau melintas didepanya bisa saja terjadi gangguan secara gaib yang dapat berakibat fatal. Setibanya di tempat kegiatan, ia kembali memainkan parangnya dengan waktu yang tidak begitu lama, dan setelah itu berdiri di depan gendang, berdoa dan menutup sebagai tanda setahun lagi pesta ini akan dirayakan.

(Kinia/Penutup Gendang acara )

Inilah sala satu kekayaan tersisa yang dimiliki oleh masyarakat Rongi sebagai bagian dari satu-satunya rumpun asli lapandewa yang berada di kecamatan Sampolawa Buton Selatan. Memang terlihat kampungan, tetapi menjaga kelestarian budaya lebih baik demi mempertahankan kampung halaman agar tetap kokoh dengan adat istiadat yang selalu di junjung tinggi. Ancaman modernisasi yang dapat menghapus budaya hingga kini masih tersimpan rapi di Desa Sandang Pangan (Rongi) yang insyah Allah tak akan pernah terkikis oleh zaman.