Sabtu, 07 Maret 2015

SEMARAKNYA PESTA ADAT LAPANDEWA RONGI



(Pesona Desa Sandang Pangan/Rongi)

Musim hujan tak hanya mendatangkan basah, namun juga memberi kabar bagi masyarakat adat Rongi untuk segera menyambut pesta kampung (Matogalampa) yang telah di nanti-nantikan. Diwaktu ini masyarakat akan segera bercocok tanam, dan biasanya jagung menjadi tanaman pilihannya. Berawal dari sinilah proses pesta adat ini akan segera dilaksanakan, karena setelah itu perangkat adat/sara juga akan melakukan rapat-rapat pertemuan setiap minggunya (Batanda) untuk memperhitungkan hari baik menurut bulan. Pertemuan itu dilaksanakan selama empat kali, dan pesta kampung akan di putuskan pada pertemuan yang terkahir.

Rongi merupakan bagian dari salah satu rumpun asli Lapandewa sama seperti tiga desa lainnya yaitu Sempa-Sempa, Kaindea, dan Kaongke-ongkea. Dahulunya desa-desa ini berada pada satu markas besar/kampung dengan sebutan Lapandewa yang bertugas sebagai sala satu pasukan pertahanan Kesultanan Buton dimasa silam (Matana Sorumba). Secara geografis desa ini berada di ketinggian dan di sekelilingnya terdapat bukit mungil yang indah, dan tentunya dapat memanjakan siapa pun yang menginjakan kakinya di desa ini. Meskipun Bentengnya agak sedikit rapuh namun masih terlihat megah melindungi perkampungan disekitarnya.  Ada banyak kisah dan peninggalan sejarah yang terisisa didesa kecil ini, diantaranya seperti meriam naga Lapandewa Rongi, yang kembarannya dimiliki oleh Kesultanan Buton.

(Meriam Naga Lapandewa Rongi)

Secara administratif, Rongi tercatat dengan nama Desa Sandang Pangan yang berada di wilayah Kecamatan Sampolawa Kabupaten Buton Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Untuk yang pertama kalinya, perayaan pesta kampung ini dilaksanakan di daerah otonom baru yang belum lama telah dimekarkan dari Kabupaten Buton sebagai wilayah induk. Dapat dibilang, perayaaan pesta kampung menjadi perayaan yang terbesar di desa ini jika dibandingkan dengan perayaan hari raya lainnya. Pesta adat ini disambut meriah oleh seluruh masyarakat Rongi, termasuk mereka yang berada didaerah perantauan untuk datang kembali merajut tali persaudaraan yang penuh dengan nuansa kekeluargaan dan norma-norma adat dan istiadat. 

Prosesi perayaan pesta adat di buka dengan memotong kambing sebagai kurban atas rasa syukur terhadap rezky yang telah diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Berbagai ritual dilakukan selama kurang lebih empat hari lamanya. Puncak dari perayaan ini di kenal dengan sebutan sampua galampa yaitu ditandai dengan makan bersama oleh seluruh perangkat adat di balai pertemuan (Baruga). Setelah itu seseorang yang telah di tugaskan (Pande Batata) memanjatkan do’a kepada yang maha  kuasa untuk mendoakan para leluhur yang telah mendahului mereka. Selesai do’a dipanjatkan, gendang dibunyikan dengan nada yang membangkitkan jiwa mengiringi para perangkat adat untuk turun dari tempat pertemuan tersebut. Masyarakatkan pun akan dihibur oleh tarian adat dengan menggunakan pisau oleh para orang tua kampung yang megenakan jubah lengkap sebagai sala satu dari pakaian adat Buton. Badan mereka yang sudah keriput seolah kencang kembali ketika mereka tampil  penuh semangat memainkan pisaunya. Acara ini di laksanakan setelah selesai sholat Ashar hingga menjelang adzan magrib berkumandang.

(Pesta Adat Rongi : Sampua Galampa)

Setelah sholat Isya dikerjakan, acara kembali dilanjutkan dengan tarian melayu atau masyarakat setempat menamakannya dengan badenda yang akan di iringi oleh alat tradisional sederhana. Gerak badan mereka yang gemulai dan hentakan kaki yang lembut memancarkan wajah kegembiraan atas berkah yang selama ini di dapatkan. Tidak sedikit diantara wajah tua mereka, terlihat termenung sambil mengenang masa mudanya dahulu. Tidah hanya dikalangan tua, generasi muda juga di wajibkan untuk mengikuti acara ini sebagai bentuk menjaga kelestarian budaya. Antusias dari kalangan muda mudi pun terlihat dengan busana yang diwajibkan yakni mengenakan sarung dan selendang bagi perempuan dan peci untuk kaum adam. Acara ini biasa juga dijadikan sebagai ajang pencarian jodoh oleh kaum muda. Kita pun yang menyaksikan  terasa seolah menembus waktu berada di masa lampau ketika budaya masih sangat di junjung tinggi.

Di hari berikutnya saat sore hari menjelang, iringan gendang di bunyikan oleh generasi mudah dengan mengelilingi kampung sebagai nada paggilan untuk masyarakat bahwa acara akan segera dilanjutkan. Proses ini disebut dengan Liliya, yang juga tidak berbeda dengan acara sebelumnya yakni tarian dengan menggunakan pisau. Bedanya pada kali ini para orang tua tidak lagi menggunakan jubah sebagai sala satu pakean adat Buton. Selain itu jika sebelumnya tarian ini hanya diperuntukan bagi orang tua kampung saja, kali ini dapat di ikuti oleh para pemudah. Siapapun dia yang terlihat oleh pandangan, laki-laki itu nampak gagah terlihat dengan pakaian rapi lengkap menggunakan peci dikepala serta terselip sebuah pisau di samping pinggangnya. Barang siapa yang ikut mangaru ini (tarian pisau) tidak menggunakan peci dan masuk lebih dari satu pasangan maka akan di kenakan denda yang diharuskan membayar sebungkus rokok kepada perangkat adat/sara. Sayangnya, saya menjadi salah satu diantaranya yang terkena denda tersebut karena telah melanggar aturan main yang sudah di putuskan. Sorak dan teriakan para penonton yang menyaksikan lebih menambah semaraknya pesta adat ini.

(Tarian Pisau Kalangan Pemuda Rongi)

Dan pada akhirnya, setelah sang fajar terbit dari timur menyinari kolong langit buatan tuhan ini, acara akan di tutup oleh seorang yang telah ditugaskan oleh perangkat adat. Seperti pada acara sebelumnya, penutupan ini juga menampilkan tarian pisau yang di hibur oleh pukulan gendang. Kinia atau seorang yang ditugaskan untuk menutup gendang  hendak bersiap menunggu Parabela sebagai pimpinan adat tertinggi yang datang di balai pertemuan itu (Baruga). setelah pimpinan yang telah ditunggu itu  tiba, ia meminta izin dan bergegas kembali kerumahnya untuk mengganti pengikat kepalanya (kampurui) dengan  menggunakan kain putih yang sangat panjang terurai. Sebelum hendak bergegas menutup acara, terlebih dahulu dikediamannya ia bermunajat dan membaca do’a. Setelah itu dia berdiri meninggalkan tempat duduknya dan putera laki-lakinya harus kembali duduk di tempat ia bermunjat tadi. Saat hendak menuju ketempat penutupan yakni  tepat di depan balai pertemuan (baruga) tersebut, tidak ada satupun yang berani melintas di hadapannya. Dalam keadaan apapun seseorang pasti akan bergegas pergi ketika melihat orang tua ini (kinia) yang akan melintas. Konon katanya bagi siapa yang menghalangi atau melintas didepanya bisa saja terjadi gangguan secara gaib yang dapat berakibat fatal. Setibanya di tempat kegiatan, ia kembali memainkan parangnya dengan waktu yang tidak begitu lama, dan setelah itu berdiri di depan gendang, berdoa dan menutup sebagai tanda setahun lagi pesta ini akan dirayakan.

(Kinia/Penutup Gendang acara )

Inilah sala satu kekayaan tersisa yang dimiliki oleh masyarakat Rongi sebagai bagian dari satu-satunya rumpun asli lapandewa yang berada di kecamatan Sampolawa Buton Selatan. Memang terlihat kampungan, tetapi menjaga kelestarian budaya lebih baik demi mempertahankan kampung halaman agar tetap kokoh dengan adat istiadat yang selalu di junjung tinggi. Ancaman modernisasi yang dapat menghapus budaya hingga kini masih tersimpan rapi di Desa Sandang Pangan (Rongi) yang insyah Allah tak akan pernah terkikis oleh zaman.

1 komentar: