Akhir-akhir ini suasana kampus Unidayan ramai diwarnai aksi unjuk rasa oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan dirinya sebagai Mahasiswa Unidayan Bersatu. Setelah sekian lama fakum, sikap kritis ini kembali terlihat akibat kebijakan Rektorat dalam menaikan biaya SPP tahun ajaran 2015/2016. Untuk yang ke sekian kalinya, aksi dilakukan atas mosi ketidak percayaan mahasiswa kepada pihak rektorat yang terkesan tidak terbuka terkait pengelolaan keuangan kampus. Tercatat sudah empat kali aksi unjuk rasa dilakukan untuk meminta pertanggunjawaban terkait persoalan ini. Aksi yang berlangsung terus menereus ini terjadi disebabkan oleh sikap rektorat yang enggan menemui para demonstran.
Selasa/19 Mei 2015 kabut asap kembali
memenuhi Kampus Universitas Dayanu Ikhsanuddin Baubau. Dalam demonstrasi kali
ini mahasiswa melakukan pemboikotan serta membakar ban dan kursi bekas sebagai
bentuk kekesalan mahasiswa yang menganggap pihak rektorat terkesan tuli, dan
buta untuk duduk bersama membahas persoalan ini. Seminggu sejak aksi ini
dilakukan, tidak ada sedikitpun kesadaran maupun kepedulian pihak kampus untuk
menanggapi tuntutan yang mereka sampaikan. Hanya pemimpin yang tuli dan mati
rasa ketika masyarakatnya harus berteriak terlebih dahulu setelah itu baru berfikir utntuk mengatasi permasalahannya. Sehingga
Slogan Akhlak dan Budaya hanya menjadi sebuah rangkaian kata indah yang abstrak
dan tidak akan pernah terwujud jika pemimpinnya saja menunjukan sikap seperti ini. Adapun aksi
mahasiswa yang terkesan tidak berbudaya seperti yang terjadi di unidayan saat ini tentunya tidak luput dari cerminan sikap para pemimpinnya,
ungkap Dafid perwakilan BEM FKM Unidayan dalam menyampaikan orasinya.
Bagi mereka tidak ada sebuah kata maupun
sikap yang paling baik untuk melawan pemimpin yang tidak bijak melainkan
dengan cacian dan cara keras. Didalam pemikiran
mereka hanya ada satu pesan yang tersirat menjadi semangat perjuangannya, bahwa
melawan ketidakbenaran merupakan salah satu bentuk kepatuhan kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Merekapun menyadari bahwa setiap kehidupan pasti ada pro kontra,
namun tidak ada niatan lain dari aksi ini melainkan semata-mata untuk menyadarkan kembali pihak
rektorat agar lebih peka dan peduli terhadap mahasiswa. Pasalnya pembangunan Univesitas
yang tertua di Sulawesi Tenggara ini terkesan lambat jika dibandingkan dengan
kampus-kampus baru di Kota Baubau.
Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) tidak menjadi soal untuk terus dinaikan jika demi memenuhi kebutuhan pendidikan, tetapi pertanggungjawabanya juga harus jelas. Tentunya hal yang dapat dipertanggungjawabkan tidak bisa terpisahkan dan diwali oleh sikap yang transparan, dan inilah yang menjadi bagian dari tuntutan mereka. Kenaikan biaya ini kembali membuka kembali ingatan mahasiswa maupun masyarakat Kota Baubau dengan janji SPP gratis yang di hembuskan saat Unidayan dijadikan sebagai mesin politik 2012 yang lalu. Selain itu dalam perspektif mahasiwa bahwa kebijakan menaikan biaya SPP hanyalah sebuah skenario untuk menjadikan lembaga pendidikan sebagai lahan komersial. Perspektif ini kemudian timbul karena setelah menakar biaya yang setiap tahunnya dinaikan akan tetapi tidak sesuai dengan pengembangan kualitas pembelajaran di Unidayan.
Ruangan belajar, laboratorium, perpustakaan maupun
fasilitias lainnya masih sangat langkah di jumpai jika dibandingkan dengan
perguruan lain. Selain itu lembaga kemahasiswaan juga beranggapan masih sangat kurang
mendapat perhatian oleh pihak rektorat. kegiatan kemahasiswaan selalu
di kebiri sehingga membatasi ruang aktualisasi dan jiwa kreatif mahasiswa. Belum
lagi sumbangan lain yang dibebankan mahasiswa ketika mengurus perkuliahan di
fakultas masih sering dijumpai. Sehingga alasan karena tidak adanya bantuan
dari universitas menguatkan asumsi mereka bahwa dalam pengelolaan
keuangan tidak transparan.
Dinamika ini jika di biarkan terus menerus
tentu dapat menggangu proses perkuliah di Unidayan. Sikap pembiaran dalam
membentengi diri sendiri tidak boleh dilakukan pihak rektorat, karena secara
tidak langsung menginginkan ketidakstabilan itu sendiri. Robert Greene dalam bukunya 48 Hukum Kekuasan menjelaskan bahwa "jangan bangun benteng untuk lindungi diri sendiri, isolasi adalah
sesuatu yang berbahaya". Kurang lebih pesan itu dapat dipahami bahwa bertahan bukanlah
suatu kesimpulan yang baik melainkan juga menjadi bagian yang dapat menyudutkan
serta menghancurkan. Keluar dan hadapi, temui serta jelaskan dari hati-kehati
untuk duduk bersama mencari kesimpulan yang baik. Jadikanlah Aksi Demonstrasi yang
dilakukan oleh mahasiswa itu menjadi bahan masukan bagi kelangsungan Unidayan. Tanggapi
secara positif lakukan dengan baik karena tantangan selalu menanti kedepannya.
***
Berbuatlah Untuk Menjadi Baik....
Kenalilah
Hati Dan Pemikiran Orang Lain. (Robert Greene)
Baubau, 19 Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar