Referensi dalam tulisan
ini, diambil ketika saya membaca buku Masyarakat, Sejarah, Dan Budaya Buton karangan
Pim Schoorl peneliti yang berkebangsaan belanda. Pim Schoorl juga merupakan teman
kuliah dari La ode Muhammad Man'arfa anak dari Sultan Buton Ke-38. Buku ini dapat menjadi pembanding saat menilai beberapa cerita yang berkembang di masyarakat Buton tentang kejayaan masa lalu.
Buton
merupakan salah satu pulau yang terletak di Sulawesi Tenggara. Pada zaman
dahulu daerah ini pernah menjadi pusat Pemerintahan Kerajaan Buton. Kerajaan
Buton di dirikan pada abad ke-13 dan dipimpin pertama kali oleh seorang wanita
bernama Raja Wakaka. Kerajaan ini mulai di kenal saat nama Butuni atau Buton
tercatat dalam buku negarakartagama karya
dari seorang sastra ternama Mpu Prapanca yang hidup di masa Majapahit.
(Benteng Kesultanan Buton) |
Seperti
pemerintahan pada umumnya, Kerajaan Buton banyak menapaki perjalanan yang penuh
dengan dinamika. Dalam perjalanannya, kerajaan Buton kemudia beralih menjadi
sistem kesultanan di masa pemerintahan Raja Ke-6 Laki Laponto (Murhum) yang juga
sekaligus menjadi sultan pertama. Namun tulisan kali ini merangkaikan kisah kesultanan
Buton yang diwarnai penuh pergolakan di masa Sultan Dayanu Ikhsanuddin
Sultan
Dayanu Ikhsanuddin merupakan salah satu pemimpin besar di kesultanan Buton. Di
tangannya undang-undang pemerintahan Kesultanan yg dikenal dengan sebutan
Martabat Tujuh dirumuskan. Dimasa pemerintahanya pula, persekutuan pertama antara
Buton dan VOC yang ditandai dengan sebuah kesepakatan dengan sebutan perjanjian
Both.
Awalnya
perjanjian ini lahir akibat kehadiran Kesultanan Makassar yang mulai mengalami
perkembangan. Saat itu Makassar menjadi tempat penimbunan dan perdagangan
rempah-rempah ketika Malaka telah ditaklukan oleh bangsa Portugis. Sejak awal
Makassar juga menjalankan politik perluasan, disisi lain pula Makassar mempunyai
keinginan besar dalam menguasai perdagangan rempah-rempah untuk di perdagangkan
di Makassar. Keinginan tersebut mengalami pertentangan dengan VOC sehingga
melahirkan pertempuran baik secara fisik maupun secara diplomasi.
Menarik
ketika melihat pertentangan tersebut saat mencari dukungan daerah-daerah lain di sulawesi, ternate, maluku
dan terkhususnya di Pulau Buton. Buton menjadi daya tarik tersendiri karena
merupakan jalur penghubung ke Maluku yang menjadi surga rempah-rempah disaat
itu. Hanya saja Buton lebih merasa bebas dan merdeka saat memilih bergabung
terhadap pengaruh VOC sehingga lahirlah persekutuan tersebut. Hal ini tentunya
membuat geram Kesultanan Makassar sehingga berniat untuk menaklukan Kesultanan
Buton dibawah pengaruhnya.
Atas
ancaman tersebut, Buton menjalankan politik diplomasi untuk meredam kekuatan
armada Makassar. Bersamaan hal itu, VOC melakukan diplomasi kepada kesultanan
Makassar, namun di tolak dengan alasan ingin bertemu langsung dari pihak Buton.
Sehingga saat itu VOC tidak terlalu membantu banyak untuk membantu Kesultanan
Buton. Oleh karena itu, pencarian diplomasi dilanjutkan ke kesultanan Ternate
yang pada saat itu pula tidak berpihak ke Makassar akibat banyak benteng
pertahanan Ternate yang dihancurkan saat perjalanan menuju ke Maluku.
Namun,
Ternate terlambat mengirimkan bantuan sehingga saat itu Buton di taklukan
Makassar dan di kuasai sebagian wilayahnya yang berada di pulau Muna (Tiworo). Berselang
beberapa waktu kemudian, ternate dapat membebaskan kembali Buton dari pengaruh
Makassar. Pergolakan ini terus menerus terjadi sampai berakhirnya kepemimpinan
Sultan Dayanu Ikhsanuddin, serta beberapa kali Buton di taklukan dan dibebaskan
kembali oleh para sekutunya yakni VOC dan Ternate.
Dapat
disimpulkan bahwa Kesultanan Buton memiliki kekuatan dalam berdiplomasi untuk
mencari sekutu melawan kekuatan tangguh armada Kesultanan Makassar. Dapat
dibayangkan jika kekuatan diplomasi ini tidak dimiliki, bukan suatu hal yang
mustahil bahwa dalam perjalanan Kesultanan Buton dapat di taklukan dan dibawah
pengaruh Kesultanan Makassar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar