Selasa, 09 Desember 2014

FASE PERGOLAKAN KESULTANAN BUTON


Referensi dalam tulisan ini, diambil ketika saya membaca buku Masyarakat, Sejarah, Dan Budaya Buton karangan Pim Schoorl peneliti yang berkebangsaan belanda. Pim Schoorl juga merupakan teman kuliah dari La ode Muhammad Man'arfa anak dari Sultan Buton Ke-38. Buku ini dapat menjadi pembanding saat menilai beberapa cerita yang berkembang di masyarakat Buton tentang kejayaan masa lalu.

Buton merupakan salah satu pulau yang terletak di Sulawesi Tenggara. Pada zaman dahulu daerah ini pernah menjadi pusat Pemerintahan Kerajaan Buton. Kerajaan Buton di dirikan pada abad ke-13 dan dipimpin pertama kali oleh seorang wanita bernama Raja Wakaka. Kerajaan ini mulai di kenal saat nama Butuni atau Buton tercatat dalam buku negarakartagama karya dari seorang sastra ternama Mpu Prapanca yang hidup di masa Majapahit.

(Benteng Kesultanan Buton)
Seperti pemerintahan pada umumnya, Kerajaan Buton banyak menapaki perjalanan yang penuh dengan dinamika. Dalam perjalanannya, kerajaan Buton kemudia beralih menjadi sistem kesultanan di masa pemerintahan Raja Ke-6 Laki Laponto (Murhum) yang juga sekaligus menjadi sultan pertama. Namun tulisan kali ini merangkaikan kisah kesultanan Buton yang diwarnai penuh pergolakan di masa Sultan Dayanu Ikhsanuddin

Sultan Dayanu Ikhsanuddin merupakan salah satu pemimpin besar di kesultanan Buton. Di tangannya undang-undang pemerintahan Kesultanan yg dikenal dengan sebutan Martabat Tujuh dirumuskan. Dimasa pemerintahanya pula, persekutuan pertama antara Buton dan VOC yang ditandai dengan sebuah kesepakatan dengan sebutan perjanjian Both.

Awalnya perjanjian ini lahir akibat kehadiran Kesultanan Makassar yang mulai mengalami perkembangan. Saat itu Makassar menjadi tempat penimbunan dan perdagangan rempah-rempah ketika Malaka telah ditaklukan oleh bangsa Portugis. Sejak awal Makassar juga menjalankan politik perluasan, disisi lain pula Makassar mempunyai keinginan besar dalam menguasai perdagangan rempah-rempah untuk di perdagangkan di Makassar. Keinginan tersebut mengalami pertentangan dengan VOC sehingga melahirkan pertempuran baik secara fisik maupun secara diplomasi.

Menarik ketika melihat pertentangan tersebut saat mencari dukungan daerah-daerah lain di sulawesi, ternate, maluku dan terkhususnya di Pulau Buton. Buton menjadi daya tarik tersendiri karena merupakan jalur penghubung ke Maluku yang menjadi surga rempah-rempah disaat itu. Hanya saja Buton lebih merasa bebas dan merdeka saat memilih bergabung terhadap pengaruh VOC sehingga lahirlah persekutuan tersebut. Hal ini tentunya membuat geram Kesultanan Makassar sehingga berniat untuk menaklukan Kesultanan Buton dibawah pengaruhnya.

Atas ancaman tersebut, Buton menjalankan politik diplomasi untuk meredam kekuatan armada Makassar. Bersamaan hal itu, VOC melakukan diplomasi kepada kesultanan Makassar, namun di tolak dengan alasan ingin bertemu langsung dari pihak Buton. Sehingga saat itu VOC tidak terlalu membantu banyak untuk membantu Kesultanan Buton. Oleh karena itu, pencarian diplomasi dilanjutkan ke kesultanan Ternate yang pada saat itu pula tidak berpihak ke Makassar akibat banyak benteng pertahanan Ternate yang dihancurkan saat perjalanan menuju ke Maluku.

Namun, Ternate terlambat mengirimkan bantuan sehingga saat itu Buton di taklukan Makassar dan di kuasai sebagian wilayahnya yang berada di pulau Muna (Tiworo). Berselang beberapa waktu kemudian, ternate dapat membebaskan kembali Buton dari pengaruh Makassar. Pergolakan ini terus menerus terjadi sampai berakhirnya kepemimpinan Sultan Dayanu Ikhsanuddin, serta beberapa kali Buton di taklukan dan dibebaskan kembali oleh para sekutunya yakni VOC dan Ternate.

Dapat disimpulkan bahwa Kesultanan Buton memiliki kekuatan dalam berdiplomasi untuk mencari sekutu melawan kekuatan tangguh armada Kesultanan Makassar. Dapat dibayangkan jika kekuatan diplomasi ini tidak dimiliki, bukan suatu hal yang mustahil bahwa dalam perjalanan Kesultanan Buton dapat di taklukan dan dibawah pengaruh Kesultanan Makassar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar